Ada kalanya hutan berbicara, tapi
manusia sibuk mendengar dirinya sendiri. Ada waktunya alam mengirim tanda, tapi
kita sibuk membaca berita. Dan di tengah kesibukan itu, hutan Bukit Barisan
perlahan menua—bukan karena usia, tapi karena lupa kita menjaga.
Membaca
Radar Lambar edisi 11 Oktober 2025 dengan tajuk “TNBBS Edukasi Siswa
Cegah Konflik Satwa” membuka dua ruang dalam pikiran saya: ruang syukur dan
ruang tanya. Sebagai putra yang lahir dan dibesarkan di Lampung Barat, saya
bersyukur melihat Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) mulai turun ke
sekolah lewat program Mit Sekula—datang untuk mendidik. Anak-anak diajak
bermain sambil belajar, memahami konservasi bukan sebagai sebuah peraturan,
melainkan sebagai cinta dan kehidupan.
Langkah ini menyejukkan, sebab menjaga
alam memang tak cukup dengan patroli dan penegakan hukum. Ia perlu penanaman
empati dan perubahan perilaku yang lahir dari hati. Namun ruang tanya saya pun
terbuka: mengapa baru sekarang? Mengapa sebelum hutan rusak begitu parah, tak
ada Mit Sekula? Mengapa di Negeri Ratu, bukan di Sukabumi, Tiga Jaya,
Sukamarga, atau di wilayah yang masyarakatnya justru diterkam harimau?
Data menunjukkan, 11.102 hektar kawasan
konservasi TNBBS telah berubah fungsi menjadi lahan pertanian kering dan kebun
kopi, yang digarap oleh sedikitnya 4.517 Kepala Keluarga (KK). Angka ini bukan
sekadar statistik, tapi kisah panjang tentang tekanan ekonomi, lemahnya
pengawasan, dan rapuhnya kesadaran kolektif. Karena itu, program seperti Mit Sekula seharusnya menjadi gerakan yang
berkelanjutan—bukan kunjungan singkat, melainkan perjalanan yang menanam akar
kesadaran di hati anak-anak negeri ini.
Sebagai lembaga konservasi nasional,
TNBBS tentu punya tanggung jawab besar. Upaya edukatif seperti ini mesti
diiringi langkah preemtif dan penegakan hukum yang tegas. Apalagi kini muncul
pertanyaan serius: bagaimana strategi TNBBS dalam bekerja sama dengan pihak
kejaksaan untuk mengungkap kasus terbitnya 121 sertifikat hak milik (SHM) di
kawasan konservasi? Jika benar ada penyimpangan administrasi dan pelanggaran
hukum, maka keadilan bagi hutan tak boleh berhenti di spanduk dan seminar, tapi
harus diperjuangkan di meja pengadilan.
Selain konservasi dari dalam TNBBS, yang
tak kalah penting adalah pemberdayaan masyarakat di sekitarnya. Di sinilah nilai
lama masyarakat Lampung Barat bisa menjadi salah satu tawaran, masyarakat adat
Bumi Skala Brak tempo dulu sangat familier dengan ungkapan repong durian,
repong cempedak, repong anau (aren), repong pete, repong pring (bambu), repong
kemit (cempaka) dan lainnya. Repong bukan sekadar metode kebun, tapi warisan
ekologis yang menjaga harmoni antara manusia dan alam. Tak ada pagar besi, tapi
ada batas adat; tak ada polisi hutan, tapi ada rasa malu bila menebang tanpa
izin. Bukankah itu bentuk konservasi paling luhur—lahir dari kesadaran, bukan
perintah? Repong-repong itu sebenarnya sekolah ekologis pertama di Lampung
Barat, tempat anak-anak pada zamannya menikmati hasil hutan, belajar membaca
musim, mengenal burung, dan memahami bahwa menebang satu pohon harus dibayar
dengan menanam dua.
Selain sistem repong, masyarakat adat Lampung Barat juga
memiliki konsep hutan marga.
Hutan marga bukan milik pribadi,
melainkan milik seluruh anggota marga yang dijaga dan diatur oleh pimpinan
adat. Ia bukan sekadar ruang hijau, tapi ruang sosial—tempat hidup bersama
diikat oleh kesepakatan adat. Di sana berlaku hukum adat yang kuat: siapa pun
yang menebang tanpa izin, harus berhadapan dengan seluruh masyarakat marga,
bukan hanya kepala adat. Artinya, kontrol terhadap hutan bukan hanya ada di
tangan pemimpin, tapi menjadi tanggung jawab kolektif seluruh warga adat.
Sistem hutan marga ini sesungguhnya bentuk konservasi sosial yang
mendahului peraturan negara. Ia lahir dari kesadaran bahwa hutan adalah tubuh
bersama—tempat mata air, sumber rotan, kayu, dan udara bersih. Seluruhnya
dijaga bukan dengan senjata, tapi dengan rasa hormat terhadap leluhur dan
generasi yang akan datang. Bila sistem seperti ini dikembalikan perannya di era
sekarang, niscaya perambah luar akan berpikir dua kali untuk masuk, karena tahu
bahwa yang dijaga bukan sekadar lahan, melainkan martabat adat dan
keberlanjutan kehidupan.
Namun kini, ada tantangan baru yang tak
bisa diabaikan: ketahanan daerah. Menjaga hutan di era ini bukan hanya soal
konservasi ekologis, tapi juga mempertahankan kedaulatan wilayah dari arus luar
yang kian deras. Banyak peristiwa yang sudah terungkap di publik menunjukkan bahwa
sebagian perambah di kawasan TNBBS justru ber-KTP luar Lampung Barat, bahkan
luar Provinsi Lampung. Mereka datang bukan membawa cinta pada tanah ini,
melainkan harapan ekonomi yang kerap mengorbankan keseimbangan alam. Mereka
membuka kebun di kawasan hutan, menanam kopi di tanah konservasi, dan perlahan
mengubah wajah Bukit Barisan menjadi deretan ladang-ladang yang kering. Bila
situasi ini terus dibiarkan, maka bukan hanya pohon yang hilang, tapi juga
kedaulatan masyarakat lokal atas ruang hidupnya.
Karena itu, selain mensosialisasikan
kebijakan Gubernur Lampung untuk menurunkan seluruh perambah di kawasan TNBBS,
yang tak kalah penting adalah memastikan agar kondisi ini tidak terus terulang.
Di sinilah pentingnya membangun ketahanan daerah—sebuah mekanisme sosial,
ekonomi, dan budaya yang mampu membendung orang luar masuk dan merusak ruang
ekologis Lampung Barat. Ketahanan daerah bukan hanya berarti memperkuat aparat
di batas hutan, tetapi juga menegakkan kesadaran di batas hati masyarakat.
Pemerintah daerah, tokoh adat, aparatur Pekon, dan lembaga pendidikan harus
menjadi barisan yang saling menopang. Mereka mesti berani berkata: “Hutan ini
rumah kita, jangan biarkan orang lain merusaknya sementara kita diam menonton.”
Lampung Barat harus kembali kepada jati
dirinya sebagai benteng terakhir Bukit Barisan—sebuah wilayah yang tidak hanya
hijau karena pepohonan, tetapi juga karena kesadaran warganya menjaga
keseimbangan antara hidup dan lingkungan. Ketahanan daerah adalah pagar tak
terlihat—pagar yang dibangun dari rasa memiliki, bukan sekadar papan
peringatan.
Saya berharap, Mit Sekula tidak berhenti
sebagai seremoni yang ramai di awal dan sunyi di akhir. Jangan sampai pula
menjadi “Duit Mit Puntut Lipit Paham Mulang di Guru”—uang habis, pantat badan
kepet, dan hanya gurunya yang paham. Artinya, jangan sampai setelah gurunya
pulang, murid kembali ke asal; kesadaran hanya hidup sebentar lalu padam
dihembus rutinitas.
Hutan Bukit Barisan sudah terlalu banyak
berbicara lewat tanda-tandanya: harimau yang menerkam petani, gajah yang
merusak tanaman, suara burung yang semakin jarang, dan sungai yang mengirim
pesan lewat banjir dan kekeringan. Ia kerap mengirimkan kabar, tapi kita sering
sibuk dan lupa mendengar bisikannya.
Semoga
Mit Sekula menjadi awal dari
kesadaran yang menetap, bukan datang dan pergi. Menjadi guru yang sabar, yang
tak hanya mengajarkan konservasi, tapi juga menumbuhkan cinta. Karena menjaga
hutan bukan sekadar tugas negara, melainkan panggilan nurani bagi siapa pun
yang masih ingin bernapas dalam udara Bukit Barisan yang mulai menua.
Dan pada akhirnya, biarlah kita belajar
satu hal yang sederhana tapi mendalam: bahwa hutan tidak pernah ingkar janji.
Ia akan menjaga manusia sejauh manusia menjaga hati terhadap hutan. Sebab
setiap daun yang gugur adalah doa, setiap akar yang menembus tanah adalah
pengingat, dan setiap embun di pucuk daun adalah pesan kasih—bahwa kehidupan
hanya akan abadi bila kita saling menjaga.

إرسال تعليق