Ketika Koperasi Didirikan oleh Janji dan Dijalankan oleh Asa

 


Di banyak desa dan kelurahan, Kabar akan lahirnya koperasi Desa Kelurahan Merah Putih (KDKMP) menjadi harapan baru— bagi sebagian masyarakat terutama pencari kerja kabar ini mareka jadikan tempat  menambatkan cita-cita. Bagi sebagian yang lain di sanalah gotong-royong dianggap akan menemukan bentuknya dalam simpanan dan usaha bersama. Namun kini, di sejumlah tempat, koperasi justru menjelma panggung kecil tempat peran dimainkan tanpa naskah yang utuh, tanpa arah cerita yang pasti. Begitulah barangkali wajah  Koperasi Desa Kelurahan Merah Putih (KDKMP) hari ini—lahir dengan nama besar, tapi masih belajar melangkah di antara kabar dan harapan. Ia seperti benih yang disemai tergesa-gesa di tanah yang belum siap, hanya karena musim program sudah datang.

 

Musyawarah desa khusus yang melahirkan KDKMP terjadi dengan cepat, secepat kabar yang beredar di grup percakapan warga. Nama-nama pengurus yang muncul bukan dari proses seleksi yang dalam, melainkan dari ketergesaan. Beberapa orang ditunjuk tanpa sempat memahami apa arti koperasi sesungguhnya. Mereka datang dengan keyakinan bahwa menjadi pengurus berarti akan mendapat gaji bulanan, seperti kabar yang sempat beredar di media sosial. Maka, ketika kenyataan berkata lain—bahwa koperasi bukan tempat mencari gaji, melainkan wadah belajar, mengelola, dan menumbuhkan kepercayaan—sebagian mulai mundur pelan-pelan. Alasan mereka terdengar sopan: “ada kesibukan lain.” Padahal yang sebenarnya terjadi, keyakinan mereka gugur sebelum sempat tumbuh.

 

Yang masih bertahan pun kebanyakan karena masih berharap. Tentang hibah 3 M yang katanya akan turun dalam bentuk uang tunai. Tentang janji yang berputar dari mulut ke mulut, dari status ke status, hingga menjadi semacam kebenaran sosial yang sukar dibantah. Maka ketika dijelaskan bahwa bantuan itu sejatinya bukan uang, melainkan barang—alat produksi, sarana usaha, atau mesin—beberapa wajah mendadak dingin. Kecurigaan muncul, bahkan kepada mereka yang sejatinya datang untuk menjelaskan. Seolah kebenaran yang tidak sesuai harapan pasti mengandung kebohongan. Dari sanalah semangat membuat proposal usaha perlahan meredup, dan kertas proposal di meja koperasi tetap kosong, menunggu kesadaran yang belum datang.

 

Lebih menyedihkan lagi, hingga kini belum ada pelatihan sistematis yang membekali para pengurus KDKMP. Mereka berjalan seperti orang menyeberangi kabut, menebak arah tanpa peta. Pemerintah tampak percaya bahwa semangat bisa tumbuh sendiri tanpa disiram pengetahuan. Padahal semangat tanpa ilmu hanyalah api kecil di tengah angin besar—cepat menyala, tapi mudah padam. Koperasi tidak akan hidup dari slogan, ia hanya tumbuh dari pendampingan yang sabar dan pendidikan yang terus menerus.

 

Di sisi lain, kita juga menyaksikan masih lemahnya sinergi antara Dinas Koperasi dan Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa (PMD). Dua lembaga yang seharusnya seiring, justru berjalan di jalur masing-masing. Dinas Koperasi memiliki pengalaman teknis, sementara Dinas PMD memegang kendali terhadap aparatur desa yang melahirkan koperasi. Namun keduanya seolah enggan bertemu dalam kesepahaman. Maka, koperasi desa seperti KDKMP sering kali kehilangan arah bimbingan—ibarat dua tangan hendak menepuk dada, tapi tak pernah bersentuhan di tengah. Dan dalam jarak itulah, semangat pemberdayaan sering terhenti di tataran administratif.

 

Padahal, jika kita kembali pada kredo pemberdayaan masyarakat, kita akan diingatkan bahwa masyarakat bukanlah objek, melainkan subjek pembangunan. Bahwa perubahan tidak datang dari perintah, melainkan dari kesadaran. Pemberdayaan sejati bukan dimulai dari bantuan, tetapi dari keyakinan bahwa setiap orang memiliki daya untuk tumbuh. Kredo itu mengajarkan kita untuk menemani, bukan menggantikan; memfasilitasi, bukan mengendalikan; mempercayai, bukan mengatur.  Sebab kekuatan sejati masyarakat tidak lahir dari hibah besar, melainkan dari kemampuan mereka mengelola harapan kecil dengan tangan sendiri.

 

Koperasi sejatinya adalah ruang belajar yang sederhana, tempat orang belajar menabung, berusaha, dan mempercayai sesama. Ia bukan sekadar lembaga ekonomi, melainkan ruang pembentukan karakter sosial. Di sana kita diajak memahami makna sabar, jujur, dan saling menanggung. Karena itu, ketika koperasi dibentuk tergesa-gesa tanpa pendidikan dan pendampingan, yang lahir bukan kemandirian, melainkan kebingungan. Ketika koperasi dijanjikan dengan angka-angka besar, maka yang tumbuh bukan kesadaran, melainkan kekecewaan. Sebab koperasi yang lahir dari janji akan mati pula oleh janji.

 

Namun saya percaya, di sela segala kekisruhan itu masih ada nyala kecil yang belum padam. Masih ada pengurus yang ingin belajar sungguh-sungguh, warga yang mau bekerja dengan tulus, dan pembina yang masih berjuang dalam diam agar koperasi tak sekadar papan nama di dinding balai desa. Mereka hanya perlu disentuh oleh pelatihan yang memanusiakan, bukan pengarahan yang menakutkan; melalui pendampingan yang menumbuhkan kesadaran, bukan laporan yang menambah beban. Bila sinergi antara Dinas Koperasi dan Dinas PMD dapat dijalankan dengan jiwa kredo pemberdayaan, maka KDKMP dan koperasi desa lainnya akan menemukan rohnya kembali—roh yang tumbuh dari rakyat, untuk rakyat, dan oleh rakyat sendiri.

 

Sebab pada akhirnya, koperasi bukan hanya alat ekonomi, tapi juga jalan batin menuju kemandirian. Ia mengajarkan bahwa kekayaan sejati bukan terletak pada berapa besar bantuan yang datang, melainkan pada berapa dalam kepercayaan yang bisa dijaga. Maka jangan biarkan koperasi lahir dari kabar, hidup dari janji, dan mati dalam laporan. Biarkan ia tumbuh dari kesadaran, dirawat oleh ilmu, dan disirami oleh kebersamaan.

 

Merah Putih, yang menjadi nama koperasi itu, semestinya bukan sekadar warna di dinding balai desa. Ia adalah lambang keberanian untuk berdiri di atas kaki sendiri, menolak tergantung pada janji-janji besar, dan percaya bahwa kemandirian tidak menunggu hibah tiga miliar—ia tumbuh dari keyakinan dan kerja keras sehari-hari.

Post a Comment

أحدث أقدم