Menakar Efektivitas Program Umroh Gratis di Saat Transfer Ke Daerah (TKD) Dikurangi

 


Di tanah air yang penuh doa tapi miskin hitungan, kebijakan sering kali lahir dari niat baik yang tersesat di jalan. Umroh gratis, misalnya. Program yang lahir dengan dalih syiar dan penghargaan, tapi sering kali tumbuh menjadi alat kosmetik politik. Di banyak daerah, pejabat berduyun melepas jamaah dengan air mata haru dan kamera tersenyum. Namun di balik sorban putih itu, ada catatan fiskal yang berpeluh, sebab uang yang mengantarkan seseorang ke Tanah Suci adalah juga uang yang tidak sempat menambal jalan, membeli buku, atau menghapus buta huruf.

 

Ambil contoh Lampung Barat  tahun 2025. Pemerintah daerahnya menganggarkan sekitar Rp1,4 miliar untuk memberangkatkan 40 jamaah umroh gratis—setara Rp35 juta per orang. Sementara di Kota Bandar Lampung, gelombang jamaah yang diberangkatkan mencapai 530 orang, dan kumulatifnya sejak program berjalan sudah lebih dari 1.200 orang. Tak ada yang salah dengan ibadah, tapi ada yang perlu ditimbang ulang tentang cara memuliakan rakyat. Apakah penghargaan harus selalu diukur dari tiket ke Mekkah, bukan dari kesempatan untuk hidup lebih baik di bumi sendiri?

 

Mari berhenti sejenak dari tepuk tangan seremonial, dan menoleh ke tanah. Coba kita hitung dengan logika sederhana. Jika dana Rp1,4 miliar itu tidak dipakai untuk tiket umroh, melainkan untuk membangun jalan rabat beton desa, apa yang bisa terjadi?

 

Dengan asumsi harga konstruksi jalan desa Rp1 juta per meter kubik, lebar jalan 2,5 meter, dan ketebalan 10–15 cm, maka setiap meternya membutuhkan biaya antara Rp250.000–Rp375.000. Artinya, dari Rp1,4 miliar, daerah bisa membangun sekitar 3,7 hingga 5,6 kilometer jalan rabat beton baru—cukup untuk menghubungkan dua atau tiga dusun yang selama ini terputus oleh lumpur. Panjangnya setara jarak dari pasar kecamatan ke SD terdekat, atau dari ladang kopi ke jalan lintas provinsi.

 

Kalau harga borongan turun ke Rp800 ribu per kubik, hasilnya bisa mencapai 7 kilometer jalan baru. Bayangkan, tujuh kilometer beton mengikat kampung ke pasar, mengikat anak ke sekolah, mengikat ekonomi rakyat kecil ke peredaran uang kota. Satu gelombang umroh bisa berubah menjadi tujuh kilometer kehidupan yang lebih lancar. Itu bukan sekadar beton, tapi jembatan sosial antara doa dan dapur.

 

Efek ekonominya pun bisa dihitung. Jalan desa yang baik menurunkan biaya transportasi hingga 20%, meningkatkan frekuensi angkutan hasil panen, dan membuka akses pedagang kecil ke pasar. Jika satu wilayah pertanian menghasilkan Rp10 miliar per tahun, penghematan dan kenaikan efisiensi 5% saja sudah menambah Rp500 juta per tahun  di sirkulasi ekonomi lokal. Belum termasuk pekerjaan tukang, sopir molen, pemasok pasir, dan pekerja harian yang semuanya mendapat pendapatan selama pembangunan. Jadi, dalam satu tahun, manfaat ekonomi dari rabat beton itu bisa menyamai atau bahkan melampaui nilai proyek umrohnya. Bedanya, yang pertama membuat rakyat bergerak, yang kedua hanya membuat rakyat berfoto.

Dan kalau angka Rp1,4 miliar itu dialihkan bukan ke beasiswa pendidikan, manfaatnya tak kalah dahsyat. Dengan biaya rata-rata beasiswa Rp 5 juta per siswa, bisa ada 280 anak yang tetap sekolah. Jika beasiswanya Rp2,5 juta, maka 560 anak  bisa diselamatkan dari ancaman putus sekolah. Sebagai contoh di Kabupaten Bogor, pemerintahnya sudah melangkah lebih maju: mengalihkan anggaran seremonial non-produktif menjadi 1.200 beasiswa perguruan tinggi senilai Rp3 miliar. Hasilnya? Lebih banyak anak miskin bisa kuliah tanpa perlu menunggu kuota umroh. Ini bukan kebijakan tanpa doa; ini doa yang diwujudkan dalam bentuk peluang hidup.

 

Bandingkan dua gambaran ini:

Umroh gratis Rp1,4 miliar: 40 jamaah berangkat, pulang membawa gelar haji kecil dan foto di depan Ka’bah.

Rabat beton Rp1,4 miliar: 3–7 km jalan baru, ratusan kepala keluarga keluar dari isolasi, pendapatan petani naik, anak-anak bisa bersekolah tanpa terjebak hujan lumpur.

 

Pertanyaannya sederhana: mana yang lebih membawa keberkahan?

 

Namun politik sering kali lebih suka yang tampak religius ketimbang yang berdampak ekonomis. Di banyak daerah, umroh gratis menjadi panggung citra. Nama-nama pejabat dicetak besar di baliho pelepasan jamaah, sementara lubang di jalan menuju pasar, puskesmas, dan sekolah tetap menganga. Padahal, jika benar niatnya ibadah, justru membangun jalan, sekolah, dan beasiswa itulah bentuk umroh sosial yang sesungguhnya—perjalanan menuju kemaslahatan, bukan sekadar ke tanah suci.

 

Di sisi lain, Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) telah memberi teladan: mereka mulai menyalurkan sebagian dana ke program beasiswa pelajar daerah terpencil. Artinya, ibadah dan pembangunan tak perlu dipisahkan. Satu membawa manusia ke Tuhan, yang lain membawa manusia pada kemandirian. Keduanya bisa berjalan beriringan, asal tidak dibius oleh pencitraan.

 

Kita tidak sedang menentang ibadah, tidak. Kita hanya sedang menanyakan arah: apakah tugas pemerintah daerah adalah memberangkatkan jamaah ke Mekkah, atau memberangkatkan rakyat keluar dari kemiskinan? Apakah pahala pejabat lebih besar jika membantu 40 orang umroh, atau 400 anak sekolah? Di masa keuangan yang terbatas, pilihan moral harus bersanding dengan hitungan rasional. Sebab iman tanpa akal hanyalah kemewahan yang mahal, dan kebijakan tanpa arah hanyalah doa yang tersesat.

 

Andai setiap rupiah dijalankan dengan kesadaran sosial, kita tak perlu lagi memuja pemimpin karena dermawan, tapi menghormatinya karena cerdas. Sebab membangun jalan yang menyambungkan ekonomi rakyat adalah bentuk ibadah yang bisa dirasakan setiap hari — setiap kali roda sepeda anak atau motor petani pengangkut hasil bumi berputar tanpa terperosok di lubang.

 

Kelak, mungkin baliho-baliho di pinggir jalan akan berubah: bukan lagi bertuliskan “Selamat Jalan Jamaah Umroh Gratis dari Pemda”, melainkan “Selamat Menempuh Pendidikan Gratis dari Pemerintah Daerah.” Tak ada kamera, tak ada sorban putih, tapi ada masa depan yang sedang dibangun diam-diam — dengan rabat beton, beasiswa, dan kerja keras. Itulah ibadah yang paling dekat dengan rakyat, dan paling jauh dari pencitraan.

 

 

 

Sumber Data dan Perhitungan:

-       Pemerintah Kabupaten Lampung Barat (2025): 40 jamaah umroh gratis dibiayai APBD ±Rp1,4 miliar.

-       Pemerintah Kota Bandar Lampung (2025): 530 jamaah umroh gratis; kumulatif >1.200 jamaah sejak program berjalan.

-       Pemerintah Kabupaten Bogor, Jawa Barat (2021): 1.200 beasiswa perguruan tinggi senilai ±Rp3 miliar.

-       Estimasi biaya rabat beton desa: Rp800 ribu–1,2 juta/m³, lebar 2,5 m, tebal 10–15 cm → hasil 3,7–7 km jalan (RAB pasar konstruksi Indonesia).

-       Estimasi efek ekonomi: efisiensi biaya transportasi 10–20%, peningkatan pendapatan wilayah ±5%/tahun.

-       Program BPKH Beasiswa Santri dan Pelajar Daerah Terpencil (2024).


Post a Comment

أحدث أقدم