Pengurus KDKMP Perintis, Bukan Pewaris (Catatan Reflektif Membersamai Pelatihan KDKMP Lampung Barat Angkatan III)



Di antara dingin pagi yang merambat pelan di ruang pelatihan Astama Hotel Kel Way Mengaku Kecamatan Balik Bukit  Lampung Barat, saya kembali melihat wajah-wajah yang hendak belajar, bukan karena dipaksa keadaan, melainkan karena mereka tahu bahwa masa depan tidak menunggu orang yang ragu-ragu melangkah. Pelatihan KDKMP Lampung Barat Angkatan III, 17 -19 November 2025 menjadi saksi bahwa perubahan sering kali lahir dari kesediaan untuk berhenti sejenak, menata ulang pikiran, dan berjalan kembali dengan cara yang lebih bijak. Koperasi, dalam makna terdalamnya, bukan hanya organisasi ekonomi; ia adalah cermin di mana kita melihat kembali kualitas kebersamaan, martabat kerja, dan keberanian untuk bermimpi lebih tinggi dari kenyamanan yang selama ini kita pelihara.

 

Para peserta mulai memahami bahwa dunia hari ini tak lagi mengenal batas desa dan kota. Suara-suara yang tidak hadir di media sosial akan mudah tenggelam, meskipun produk yang mereka hasilkan sejujurnya layak dibanggakan. Di tengah diskusi, saya mengutip pendapat Philip Kotler, pakar pemasaran dunia, yang mengatakan bahwa “pemasaran bukan lagi tentang produk yang kita buat, tetapi tentang cerita yang kita sampaikan.” Dan saya melihat kepala-kepala mengangguk pelan. Mereka mulai menyadari bahwa pemasaran produk KDKMP bukan lagi sekadar transaksi jual-beli, tetapi tentang kemampuan merawat narasi. Bahwa memotret proses, menceritakan perjalanan, dan membagikan kisah adalah bagian dari perjuangan membesarkan koperasi. Media sosial, pada akhirnya, bukan tentang gaya hidup—melainkan tentang menyatakan keberadaan KDKMP kepada dunia yang terus bergerak cepat.

 

Di awal sesi, Kepala Dinas Koperasi, UKM, dan Perdagangan Lampung Barat  mengingatkan dengan suara yang penuh harapan: bahwa kita harus bergandengan tangan, bukan berjalan terpisah seperti biduk-biduk kecil yang saling menjauh di laut yang sama. Ia tidak hanya bicara soal gotong royong sebagai slogan, tetapi sebagai kenyataan yang harus kita jalani. Ekonomi desa tidak mungkin tumbuh jika para penggeraknya berjalan dalam irama yang berbeda-beda. Ungkapan Kepala Dinas Koperasi UKM dan Perdangangan Lampung Barat ini mengingatkan saya pada pendapat Elinor Ostrom, peraih Nobel bidang ekonomi yang meneliti kerja kolektif, bahwa komunitas yang mampu bekerja bersama secara mandiri dapat mengelola sumber daya jauh lebih efektif daripada institusi luar yang masuk membawa janji perubahan. Dan bukankah koperasi adalah bukti paling nyata bahwa kerja bersama sering kali lebih kuat daripada bantuan luar yang tidak pernah menentu?

 

Kemudian Kepala Bidang Koperasi Dinas Koperasi UKM dan Perdagangan Lampung Barat di akhir sesi menambahkan pesan yang terasa sederhana tetapi menggugah akar kesadaran: bahwa koperasi meminta kita untuk mendahulukan kemampuan menolong diri sendiri, berangkat dari kebutuhan bukan keinginan, beliau menegaskan bahwa kekuatan sesungguhnya justru lahir dari apa yang kita miliki hari ini. Saya teringat pendapat Peter Drucker, tokoh manajemen dunia, yang menyatakan bahwa “organisasi yang sehat adalah organisasi yang memulai dengan apa yang ada, bukan dengan apa yang diharapkan.” Dan saya melihat peserta merenungkan kalimat itu. Kita sering lupa bahwa menolong diri sendiri adalah fondasi kemandirian. Koperasi tidak meminta kita sempurna; ia meminta kita berani memulai dari sedikit, memeliharanya bersama, dan menumbuhkannya perlahan.

 

Sebagai pelatih, saya mengatakan bahwa kami pelatih hanya pemantik. Pelatihan ini tidak pernah dimaksudkan sebagai obat mujarab. Ia hanya percikan kecil yang menunggu untuk diperbesar. Api yang sebenarnya akan menyala ketika peserta kembali ke rumah masing-masing, menyalakan kembali tekadnya, dan melatih apa yang tadi hanya terdengar sebagai teori. Saya mengutip pendapat Malcolm Knowles, tokoh pendidikan orang dewasa, bahwa “orang dewasa belajar bukan dari apa yang didengar, tetapi dari apa yang dialami dan dilakukan berulang-ulang.” Koperasi tidak akan tumbuh dari wacana; ia hanya akan hidup dari kebiasaan-kebiasaan kecil yang dikerjakan tanpa lelah: mencatat, merencanakan, menghitung, berbagi tugas, dan menjaga transparansi.

 

Saat menutup sesi, Ibu Kepala Bidang Juga mengatakan bahwa pengurus KDKMP adalah perintis, bukan pewaris. Pewaris hanya menjaga apa yang ditinggalkan oleh generasi sebelumnya, tetapi perintis berjalan di jalan yang kadang belum ada jejaknya. Namun di tangan perintislah lahir masa depan. Perintis tidak berjalan untuk dirinya sendiri; ia berjalan untuk banyak orang yang tidak sempat ia temui. Perintis tidak memikirkan hasil cepat; ia menanam pohon dan tahu bahwa teduhnya mungkin baru dinikmati generasi berikutnya.

 



Dan di ruangan ini, saya melihat setiap peserta memiliki nyala kecil itu. Nyala yang sudah lama ada, tetapi mungkin terbungkus oleh letih, oleh keraguan, atau oleh kebiasaan menunggu. Pelatihan ini hanya membuka kembali bungkus itu, membiarkannya bernafas, dan memberi sedikit angin agar cahayanya kembali tegak. Bila nyala ini dijaga bersama, maka ia akan menjadi terang yang menerangi desa-desa kita. Bila tangan-tangan yang kita genggam hari ini tidak kita lepaskan, maka ekonomi desa tidak perlu lagi hanya menjadi cerita harapan; ia akan menjadi kenyataan yang tumbuh dari kerja bersama.

 

Kita memilih menjadi perintis, bukan pewaris. Kita bergerak bukan untuk hari ini, tetapi untuk masa-masa panjang yang belum kita jamah. Dan suatu hari nanti, ketika orang bertanya apa yang telah kita lakukan untuk desa, kita dapat menjawab dengan hati yang tenang: bahwa kita pernah menyalakan sebuah nyala kecil yang mengubah arah hidup banyak orang. Bahwa kita pernah berdiri di sini — di Lampung Barat — sebagai bagian dari perjalanan panjang menuju kemandirian dan martabat. Sebagai perintis yang percaya bahwa perubahan tidak menunggu orang lain, tetapi dimulai dari langkah-langkah kecil yang kita sepakati bersama.

Post a Comment

أحدث أقدم