Kadang sebuah kisah datang bukan untuk membuat kita panik, tetapi untuk mengetuk pelan pintu kesadaran. Ia mengetuk dengan sopan, tetapi meninggalkan gema yang panjang. Begitulah kisruh dugaan penipuan proyek revitalisasi yang menyeret 46 kepala sekolah di Lampung Barat hadir di hadapan kita. Ia tidak hanya membawa angka kerugian, tetapi juga membawa rasa getir yang merembes ke ruang-ruang pendidikan—ruang yang seharusnya paling kita jaga dari segala bentuk kekeliruan.
Kerugian miliaran rupiah itu seperti riak di permukaan air, namun yang
lebih mengusik justru arus di bawahnya: bagaimana sebuah ekosistem pendidikan
bisa begitu mudah ditembus, bagaimana sebuah sistem pengawasan bisa begitu
longgar, dan bagaimana kepercayaan bisa begitu ringkih. Namun dari seluruh riak
dan arus itu, ada satu keheningan yang terasa paling dalam: keheningan DPRD
Lampung Barat.
Rumah rakyat itu masih berdiri, lampunya menyala, namun seperti tidak
ada suara yang keluar dari dalamnya. Seolah-olah
35 orang di dalamnya sedang berbicara dengan suara setengah hati, tidak cukup
kuat untuk terdengar sebagai sebuah sikap lembaga. Apa yang muncul baru gumam
personal—suara Bambang Kismanto yang prihatin, suara Nopiyadi yang mengingatkan
perlunya pendampingan—tetapi semuanya masih sebagai pribadi, bukan sebagai
wujud kehadiran DPRD Lampung Barat sebagai institusi yang kita titipkan suara
rakyat.
Dalam urusan publik sebesar ini, suara pribadi itu baik, tetapi tidak
cukup. Yang kita cari adalah suara
bersama. Suara yang lahir dari kesadaran
kolektif bahwa pendidikan adalah pondasi tempat masa depan daerah ini bertumpu.
Lambannya sikap lembaga legislatif ini membuat masyarakat bertanya
dalam hati—pertanyaan yang mungkin tidak diucapkan keras-keras, tetapi terasa
mengendap: apakah para wakil kita
mendengar gelisah ini? Ataukah mereka sedang menunggu angin lain datang sebelum
suara mereka terbit?
Sementara itu, aparat penegak hukum kini memegang kunci berikutnya.
Kita tentu berharap proses penyelidikan berjalan jernih, sabar, dan tegas—tegas
bukan dalam suara, melainkan dalam ketepatan langkah; jernih bukan dalam
kata-kata, melainkan dalam cara menata bukti dan niat. Karena apa pun hasilnya
nanti, kepercayaan publik akan bertumpu pada bagaimana hukum menata kisah ini
dari pangkal sampai ujung.
Namun, ada bahaya lain yang lebih halus, lebih senyap, tetapi jauh
lebih tajam bila kasus ini dibiarkan menggantung. Bahaya yang tidak tampak
seperti badai, tetapi tumbuh seperti kabut yang pelan-pelan menutupi pandangan
jauh kita.
Bila 46 kepala sekolah ini dibiarkan membawa luka tanpa kepastian
penyelesaian, maka akan lahir rasa gentar di hati para pemimpin sekolah lain.
Bila pelaku yang merancang penipuan ini tidak ditindak tuntas, maka akan ada
yang mencoba pola yang sama di tahun-tahun mendatang. Bila DPRD terus menjaga
diamnya, maka akan lahir budaya abai terhadap pendidikan—sebuah budaya yang
menggerogoti masa depan dengan cara yang paling senyap.
Dan bila hukum berjalan dengan langkah yang terlalu pelan, maka
kepercayaan akan surut perlahan.
Kepercayaan itu tidak hilang tiba-tiba, tetapi merayap pergi sedikit
demi sedikit, meninggalkan ruang pendidikan dalam keadaan rapuh.
Inilah bahaya terbesar dari sebuah kasus yang tidak dituntaskan:
anak-anak kita akan tumbuh dalam sistem yang tidak lagi mereka
percayai.
Guru mengajar dengan hati yang cemas.
Kepala sekolah memimpin dengan rasa takut mengambil keputusan.
Orang tua mengantar anaknya ke sekolah dengan keyakinan yang tidak lagi
utuh.
Dan pendidikan, yang seharusnya menjadi taman masa depan, perlahan
terasa seperti halaman yang ditinggalkan.
Apakah Lampung Barat memang hendak menuju ke sana.? Ntaahlah.
Karena itu, kisruh ini sebenarnya bukan sekadar ujian bagi 46 kepala
sekolah, bukan sekadar ujian bagi APH, tetapi terutama ujian bagi kita—ujian
bagi rumah rakyat yang seharusnya menjaga arah daerah ini. Kita menunggu suara
itu keluar, bukan suara yang menuding atau membentak, tetapi suara yang halus,
jernih, dan tegas: suara yang menandai bahwa DPRD hadir, peduli, dan tidak
membiarkan pendidikan berjalan dengan luka terbuka.
Kita tidak meminta yang muluk-muluk.
Kita hanya ingin rumah rakyat itu benar-benar hidup. Kita ingin suara lembaga yang tidak hanya
terdengar ketika hari tenang, tetapi juga ketika gelombang datang.
Sebab bila wakil rakyat terlalu lama diam, maka suara rakyatlah yang
perlahan kehilangan tempat untuk kembali. Dan masa depan pendidikan akan
berjalan tanpa kompas, tanpa penuntun, tanpa arah yang pasti.
إرسال تعليق