Di Lampung Barat, Topeng Sekura tidak sekadar perhelatan tahunan. Ia adalah wajah.
Wajah ingatan yang panjang, yang konon
telah hidup sejak abad ke-13.
Wajah kebudayaan Lampung Pesisir yang
menampakkan diri setiap Idulfitri—saat manusia kembali pada fitrah, pada kesederhanaan,
pada rasa syukur yang paling jujur.
Sekura lahir dari suka cita. Dari
kegembiraan bersama setelah sebulan menahan diri. Dari ruang ekspresi yang
dahulu dijalani dengan adab dan rasa. Ia bahkan pernah menjadi ruang perjumpaan
yang halus—tempat harap, doa, dan jodoh dipertemukan dengan cara yang
bermartabat. Karena itu, Sekura bukan sekadar tontonan, melainkan cermin cara
masyarakat merawat hidup dan nilai-nilainya.
Namun pelan-pelan, cermin itu seperti
mulai buram.
Drs. Tamzir Zamka, masyarakat asal
Kesugihan Lama, Kecamatan Balik Bukit Lampung Barat, saat ini tinggal di Bandar
Lampung mengingatkan bahwa perhelatan Sekura kerap ternodai oleh hal-hal yang
sejatinya tidak sejalan dengan ruh awalnya. Kita melihatnya, merasakannya,
meski kerap memilih diam.
Ada semboyan yang terdengar ringan namun
menyisakan beban: ngelimak kik mak melimuk. Demi memenuhi rasa itu, kebun warga
di batas pekon tak jarang menjadi sasaran. Pepohonan ditebang, dedaunan
dipetik, lalu ditinggalkan begitu saja. Ketika Sekura usai, yang tertinggal
bukan hanya kenangan, tetapi juga sisa-sisa yang melukai lingkungan dan hati
pemilik kebun. Tradisi yang seharusnya bersahabat dengan alam justru tanpa
sadar menjauh darinya.
Soal penampilan Sekura Kamak pun tak
kalah memprihatinkan. Berdasarkan pengetahuan dan pengalaman yang beliau alami,
Tamzir Zamka yang era 90-an pernah menjadi Ketua Pengikot Liwa Sepakat (PELIKAT)
paguyuban muli meranai Asal Lampung Barat di Bandar Lampung ini menegaskan
bahwa Sekura yang berpenampilan menyerupai perempuan sejatinya hanya
dimaksudkan untuk menggambarkan sosok pengantin—sebuah simbol kesucian dan
peralihan, bukan ruang untuk mempertontonkan tubuh. Maka pertanyaan sederhana
pun muncul dengan sendirinya: pengantin seperti apa yang menebar aurat?
Kebebasan berekspresi sejatinya selalu
berjalan beriringan dengan kebijaksanaan. Budaya tidak pernah dilahirkan untuk
menanggalkan etika, terlebih di hari-hari yang masih dipenuhi gema takbir dan
doa. Ketika batas itu terlewati, yang perlahan pudar bukan hanya makna Sekura,
tetapi juga kehormatan budaya itu sendiri.
Sekura berjualan, pada dasarnya, adalah
ikhtiar yang baik. Sebuah ide kreatif untuk menyambung hidup di momentum
Lebaran. Tidak ada yang keliru ketika budaya dan ekonomi berjalan beriringan.
Namun niat baik itu kehilangan maknanya ketika dilakukan dengan cara
memaksa—ketika pengguna jalan dihentikan dengan gestur dan kata-kata yang membuat
orang merasa tertekan.
Lebih-lebih jika yang mengalami hal itu
adalah orang luar. Mereka yang tidak lahir dan tumbuh dalam pemahaman tentang
Sekura. Apa yang mereka lihat bisa dengan mudah dianggap sebagai wajah budaya
Lampung Barat yang sesungguhnya. Dari sanalah rasa takut tumbuh, cerita kurang
baik menyebar, dan perlahan upaya membangun pariwisata Lampung Barat yang
sedang digalakkan ikut dipertaruhkan.
Kini, Idulfitri dan perhelatan Sekura
tinggal menghitung bulan. Barangkali inilah waktu yang tepat untuk berbenah
dengan kepala dingin dan hati yang lapang. Para pelaksana perlu kembali
mensosialisasikan nilai dan batas Sekura kepada masyarakat luas, terutama
kepada para tokoh pemuda yang selama ini menjadi denyut utama perhelatan ini.
Di tangan merekalah wajah Sekura hari ini dipahat, sekaligus masa depannya
ditentukan.
Akan terasa lebih indah bila Sekura
dihadirkan dengan penampilan dan atraksi yang mendidik. Ia bisa menjadi ruang
menyampaikan pesan tentang menjaga hutan, merawat alam, dan mencegah
bencana—agar Sumatra tak perlu kembali mengulang kisah pilu yang sama. Budaya,
pada akhirnya, selalu memiliki cara paling lembut untuk menasihati manusia.
Selain orkes Lampung, nyambai, bediker,
dan pencak silat yang selama ini menjadi penanda kekayaan tradisi, barangkali
tidak ada salahnya jika Sekura juga memberi ruang bagi ekspresi lain yang lebih
segar. Misalnya, menjadikannya ajang pencarian bakat stand up comedy khas
Lampung. Humor yang lahir dari pengalaman lokal dan kearifan setempat justru
bisa menjadi jembatan hangat antara tradisi dan generasi muda.
Siapa tahu, dari panggung sederhana di
tengah hiruk-pikuk Sekura itu, kelak lahir komedian nasional yang membawa
logat, cerita, dan kecerdasan Lampung ke ruang yang lebih luas. Menghibur tanpa
merendahkan, menertawakan diri tanpa kehilangan martabat. Sebuah jalan
penghidupan yang layak—tanpa harus memaksa, tanpa harus mencederai makna Sekura
itu sendiri.
Pemerintah daerah, khususnya Dinas
Pariwisata Lampung Barat, kiranya dapat hadir lebih dekat. Bukan hanya sebagai
pengatur, tetapi sebagai bagian dari denyut kebudayaan itu sendiri. Sekura
dapat menjadi medium sosialisasi pembangunan pariwisata Lampung Barat yang
hangat dan membumi. Bahkan, sesekali, kehadiran Bupati, Wakil Bupati, atau Kepala
Dinas ikut ber-Sekura—turun langsung ke tengah masyarakat—akan menjadi pesan
yang kuat, sebagaimana makna kebersamaan dalam nyambai yang belakangan ini
Bapak Bupati, Wakit Bupati, Para Kepala Dinas laksanakan.
Jika Sekura adalah wajah Lampung Barat,
semoga wajah itu senantiasa terjaga—bersih, teduh, dan bermartabat.
Wajah yang membuat orang ingin datang,
bukan ragu melangkah.
Wajah yang membuat kita bangga
menatapnya.
Idulfitri adalah tentang kembali.
Maka Sekura pun kiranya kembali—
ke maknanya, ke adabnya, ke rasa syukur
yang paling sunyi dan jujur.
Post a Comment