Di negeri ini, cita-cita bekerja perlahan menyempit seperti lorong panjang tanpa jendela. Anak-anak muda yang dulu bermimpi menjadi pelaut, petani berdaulat, guru yang merdeka, atau pengusaha yang jujur, kini dipertemukan pada satu simpang yang sama: menjadi Pegawai Negeri Sipil dan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja.
Bukan semata karena panggilan
pengabdian, melainkan karena dunia kerja di luar sana kian kejam dan kering.
Lapangan pekerjaan di sektor swasta menyusut, upah tak ramah pada biaya hidup,
dan masa depan sering terasa seperti janji yang ditunda tanpa tanggal. Maka PNS
dan P3K tampil sebagai pulau harapan—dengan gaji tetap, tunjangan, fasilitas,
dan rasa aman yang sulit ditawar oleh ketidakpastian.
Namun, di balik seragam rapi dan sumpah
jabatan, tersimpan rahasia yang sudah terlalu lama menjadi rahasia umum. Di
beberapa instansi dan daerah, jalan menuju status PNS dan P3K tak selalu dibuka
oleh prestasi dan kualitas. Ia lebih sering dibukakan oleh dua kunci lama yang
diwariskan dari satu meja ke meja lain: dekeng dan duit.
Dekeng adalah silsilah kekuasaan—orang
dalam, kerabat, titipan nama. Duit adalah jalan pintas yang dibungkus senyap,
berpindah tangan tanpa kuitansi, tapi meninggalkan luka panjang pada keadilan.
Tak heran bila dunia kerja akhirnya dipenuhi mereka yang lolos bukan karena
layak, melainkan karena dekat; bukan karena mampu, tapi karena mampu membayar.
Sejumlah ahli administrasi publik
menyebut kondisi ini sebagai kegagalan sistem meritokrasi. Menurut mereka,
birokrasi yang tidak berbasis kompetensi akan melahirkan aparatur yang miskin
etos kerja, rapuh integritas, dan cenderung melihat jabatan sebagai sumber
privilese, bukan tanggung jawab. Dalam jangka panjang, negara bukan hanya
kehilangan efisiensi, tetapi juga kehilangan kepercayaan publik—modal sosial
paling mahal yang tak bisa dibeli dengan dekeng maupun duit.
Dari rahim sistem semacam itu, lahirlah
wajah birokrasi yang lain. Pegawai yang gemar memamerkan harta dan fasilitas:
kendaraan yang kilapnya tak sebanding dengan slip gaji, aksesoris—cincin,
gelang, kalung—yang berkilau lebih terang dari etika, serta riasan wajah yang
glowing, seolah cahaya itu lahir dari keberhasilan, padahal tak pernah sejalan
dengan jumlah pendapatan yang diterima setiap bulan. Kemewahan semu itu, menurut
para sosiolog, adalah gejala kompensasi psikologis dari status yang diperoleh
tanpa proses yang sehat. Jabatan akhirnya diperlakukan sebagai simbol gengsi,
bukan ruang pengabdian.
Maka jangan heran bila model pegawai
seperti ini lebih mahir menjilat atasan daripada melayani masyarakat. Lidahnya
lentur pada pujian, tapi tangannya kaku pada pekerjaan. Di balik senyum dan
penampilan rapi, pikirannya sibuk mencari celah—ruang abu-abu tempat korupsi
sering bermula. Para ahli tata kelola pemerintahan mengingatkan, korupsi
birokrasi kerap lahir bukan dari niat besar merampok negara, melainkan dari
kebutuhan menutup gaya hidup yang sejak awal tak sebanding dengan penghasilan
resmi.
Ketika kualitas disisihkan, kerja pun
kehilangan makna. Tak mengherankan bila kemudian lahir plesetan-plesetan pahit
sebagai bentuk perlawanan sunyi. PNS dipelesetkan menjadi Pagi Nunggu
Siang—datang bukan untuk bekerja, melainkan menunggu waktu pulang. Sementara
P3K berubah makna menjadi Pergi Pagi Pulang Petang untuk Konkow—energi habis di
jalan, waktu tersisa hanya untuk basa-basi dan ngobrol di tempat kerja. Dalam
kacamata para pengamat kebijakan publik, plesetan ini adalah alarm sosial:
tanda bahwa ada jarak yang kian lebar antara birokrasi dan rakyat yang
dilayaninya.
Barangkali masalahnya bukan pada PNS
atau P3K itu sendiri, melainkan pada cara kita menempatkan jabatan sebagai
tujuan, bukan amanah. Para ahli etika pemerintahan menegaskan, selama jabatan
diperlakukan sebagai hadiah hidup nyaman, maka praktik dekeng dan duit akan
terus menemukan ruang. Dan selama itu pula, negeri ini akan berjalan
tertatih—dipikul oleh segelintir aparatur yang bekerja dengan sungguh-sungguh,
sambil menyeret banyak yang sekadar hadir.
Saatnya kita menilai PNS dan P3K dari
kinerjanya, bukan dari penampilannya. Dari hasil kerja, bukan dari kilau
kendaraan, gemerlap aksesoris, atau wajah yang terlalu rajin dipoles. Negara,
kata para pakar administrasi negara, hanya bisa kuat jika birokrasi dibangun di
atas disiplin kerja, akuntabilitas, dan kesederhanaan hidup.
Dan bila perlu—demi kewarasan
birokrasi—PNS dan P3K yang hanya memoles penampilan tanpa pernah memoles hasil
pekerjaan, patut dikucilkan secara moral dan sistemik. Bukan untuk dihina,
melainkan untuk diberi cermin bahwa jabatan bukan panggung peragaan, dan kantor
bukan ruang pamer gengsi.
Sebab pelayanan publik menuntut kerja
nyata, bukan wajah cerah; integritas, bukan kilau; keberanian bekerja, bukan
kelihaian menjilat.
Di titik itulah birokrasi akan kembali
menemukan martabatnya: sunyi dari pamer, ramai oleh kerja. Dan di sanalah
negara pelan-pelan disembuhkan—oleh aparatur yang sederhana dalam hidup, tapi
luar biasa dalam tanggung jawab.
Post a Comment