Liwa pernah mengenal cinta sebagai
proses sosial, bukan sekadar peristiwa pribadi. Di masa ketika malam hanya
diterangi lampu damar, radio dua band menjadi kemewahan informasi, dan
rumah-rumah masih berdinding kayu atau pelupuh bambu, masyarakat justru memiliki
cara yang tertib dan bermartabat dalam mengelola perasaan. Salah satunya
bernama sesiah—sebuah praktik pendekatan muli–meranai yang hari ini nyaris
hilang, kalah oleh logika serba cepat.
Tulisan ini disusun berdasarkan cerita
dan penuturan dari beberapa orang sumber di Liwa dan sekitarnya. Mereka
menyampaikan ingatan tentang sesiah sebagai pengalaman hidup, bukan sebagai
teori. Atas permintaan mereka, nama-nama tersebut tidak disebutkan. Barangkali
karena bagi sebagian orang, kenangan semacam ini cukup disimpan sebagai warisan
nilai, bukan untuk diperdebatkan identitasnya.
Dalam Bahasa Lampung Pesisir, sesiah
berarti berbisik. Namun dalam konteks muli–meranai yang sedang kita bicarakan,
sesiah bukan bisik-bisik tanpa arah. Ia adalah cara berbicara pelan, tertahan,
dan terjaga—suara yang hanya didengar oleh keduanya, meskipun di rumah itu sang
muli tinggal bersama bapak, ibu, serta adik atau kakaknya. Sesiah bukan
sembunyi, tetapi tahu batas. Bukan rahasia gelap, melainkan kesantunan yang
sadar ruang.
Sesiah bukan romantisme masa lalu yang
pantas dikenang sambil tersenyum. Ia adalah sistem etika. Meranai datang ke
rumah muli bukan untuk pamer keberanian, melainkan untuk menguji kesungguhan.
Tengah malam dipilih bukan karena gelapnya, tetapi karena sunyinya. Si muli
berada di dalam kamar, si meranai di luar rumah, dipisahkan dinding kayu atau
pelupuh bambu yang berfungsi sebagai pagar moral. Tidak ada sentuhan. Tidak ada
pelanggaran ruang. Hanya suara dan kata-kata yang ditakar. Dan di situlah keistimewaan sesiah sering
luput dibicarakan.
Menurut penuturan para sumber tersebut,
dalam sesiah, bahasa yang digunakan bukan bahasa keras atau lugas, melainkan
pantun-pantun halus, kiasan alam, dan ungkapan berlapis makna. Perasaan tidak
diucapkan secara telanjang. Cinta disampaikan dengan perumpamaan, harap
dititipkan dalam kalimat yang sopan. Ini bukan sekadar gaya bicara, melainkan
latihan mengelola emosi. Anak muda belajar bahwa perasaan pun perlu tata krama.
Hari ini, semua itu terdengar asing.
Bahasa cinta dipadatkan menjadi singkatan, emoji, dan pesan singkat yang
dikirim tanpa jeda. Kata-kata meluncur lebih cepat daripada pikiran. Kita hidup
di masa ketika relasi bergerak gesit, tetapi sering tertinggal dalam
kedewasaan. Kedekatan tidak lagi diuji oleh kesabaran, melainkan oleh seberapa
sering saling daring. Di titik inilah
sesiah berubah menjadi kritik sosial yang diam-diam tajam.
Kita kerap menyebut masa lalu sebagai
zaman keterbatasan, padahal masyarakat dulu memiliki mekanisme kontrol sosial
yang melindungi semua pihak, terutama perempuan. Dalam sesiah, muli bukan objek
rayuan, melainkan subjek yang dihormati. Tidak ada paksaan emosional, apalagi
fisik. Datang berarti siap bertanggung jawab, bukan sekadar mencoba-coba rasa.
Antropolog budaya menyebut praktik
seperti sesiah sebagai ritualized courtship, pendekatan yang diritualkan agar
hasrat pribadi tidak menabrak nilai bersama. Banyak kegamangan relasi hari
ini—komitmen rapuh, relasi putus-nyambung, dan kelelahan emosional—berakar dari
hilangnya bingkai budaya dalam mencintai.
Pandangan sosiolog lain juga menilai
bahwa relasi modern terlalu menekankan kebebasan, tetapi sering lupa pada
tanggung jawab. Ketika cinta dilepaskan sepenuhnya dari norma, yang tersisa
bukan kebahagiaan, melainkan letih yang tak sempat disadari. Dalam konteks ini
jelas bahwa, sesiah bukan alat pengekang, melainkan cara pelan untuk
mendewasakan.
Kritik paling keras dari sesiah terhadap
zaman kini terletak pada cara kita berbahasa dan berniat. Dulu, menyatakan rasa
saja perlu memilih kata. Hari ini, perasaan diumbar tanpa pertimbangan. Dulu,
batas dijaga dengan kesadaran. Kini, batas sering dinegosiasikan demi
kenyamanan sesaat.
Ironisnya, ada banyak orang bangga
menyebut diri modern, tetapi kerap gagap saat diminta bertanggung jawab atas
perasaan sendiri. Banyak orang berpendapat dan dilontarkan di depan publik bahwa
adat sebagai penghambat, padahal kalau di telisik lebih dalam yang sering menghambat
justru ketidakmampuan orang-orang
tersebut menahan diri.
Sesiah memang tidak harus dihidupkan
kembali persis seperti dulu. Kita tidak sedang merindukan dinding bambu atau
malam yang terlalu sunyi. Tetapi nilai yang dikandungnya layak dihadirkan
kembali: kesabaran, penghormatan, kejernihan niat, dan kesantunan berbahasa.
Sebab mencintai, sejatinya, bukan soal
seberapa cepat kita mendekat, melainkan seberapa sanggup kita menjaga.
Liwa pernah mengajarkan itu—pelan,
berbisik, dan penuh makna. Dan mungkin, yang benar-benar hilang hari ini bukan
sesiahnya, melainkan kesediaan kita untuk kembali mendengar dengan hati yang
tidak tergesa.
Post a Comment