Benarkah, Kami Siap Melayani Anda?

 


“Kami siap melayani anda” Kalimat ini akan mudah kita temui di markas polsek dan polres di penjuru negeri ini.  Sungguh kalimat sejuk yang akan membuat masyarakat yang membacanya akan merasa senang dan bangga.

Di tengah kian menasionalnya implementasi kalimat “siap melayani” dan tuntutan profesionalisme Polri, berbagai tragedi dan insiden berskala nasional dan daerah yang idealnya menjadi indikator dan verifikasinya pun terjadi.  Berbagai “adegan miring” terekam dan terpublikasi seolah tiada henti menghiasi media, lagi-lagi mulai dari media dearah maupun media nasional, mulai kolom SMS sampai menjadi headline, mulai dari media koran sampai layar kaca.  Sebut saja diantaranya kasus  wafatnya Ketua DPRD  Sumatra Utara tahun dalam demo anarkis menuntut lahirnya protap;  yang disinyalir karena lemahnya prosedur tetap pengamanan.  Bentrok warga di Maluku karena polisi tidak tegas; Oknum polantas yang sering melakukan razia tanpa “plang” yang ujung-ujungnya duit.  Lalu, oknum berjudi, memerkosa, melepaskan buron/tahanan, dan banyak lagi.

Mirisnya, prilaku oknum petugas yang idealnya berada di garda paling depan memberantas kejahatan malah ikut bahkan menjadi otaknya.  Semua tentu masih ingat kejadian perampokan sadistis oleh oknum anggota polres Lampung Barat pada medium tahun 1999 dan kasus terlibatnya anggota polri dalam perampokan di rumah pengusaha onderdil sepeda motor dan alat olahraga Udin Kribo yang menewaskan seorang Kapolpos Adiluwih Tanggamus.

Fakta yang ada, selain membawa pertanyaan juga membawa pernyataan, Benarkah kalimat “Siap melayani anda (masyrakat)” benar adanya atau ini jargon untuk membangun citra Polri di mata masyarakat  dan membangun Polri dari dalam karena memang belum siap?

Selain kesiapan(?), hal lain yang menyeruak dari banyaknya insiden dan tragedi yang dilakukan oknum anggota Polri adalah indikasi anggota Polri yang teraleniasi (asing dengan dunianya sendiri).  Pertanyaannya apa yang sedang terjadi sesunggunya dan bagaiamana ideal.?

Pola Kemitraan

Tahun 2007 bergulir program/pola pengamanan Polri bernama Forum Kemitraan Polisi Masyarakat (FKPM).  Konon, pola yang di terapkan pada FKPM merupakan perbaikan dari pola sebelumnya bernama Forum Silaturahmi Kamtibmas (FSK) dan beberapa ide dasar yang mengadopsi pola community policing   di luar negeri, yang ternyata ampuh dan tentu cocok bagi perpolisian modern.

Tak tanggung-tanggung, FKPM yang di fasilitasi Polri bersifat otonom dan independen, beranggotakan seluruh komponen Stakeholder  polisi di masyarakat plus anggota polmas dari kepolisian setempat, berwenang menyelesaikan kasus tipiring.  Program ini digulirkan secara nasional karena dipandang sebagian kalangan sangat besar manfaatnya mencegah konflik di masyarakat yang heterogen, menyelesaikan kasus tindak pidana ringan yang hukum pidananya kurang dari tiga bulan, upaya preventif tindak pidana di masyarakat.  Dan yang terpenting memecahkan kebekuan hubungan Polri dengan masyarakat dan menegaskan polisi dari dan untuk masyarakat.

Namun, sayang sungguh sayang, FKPM yang sejatinya menjadi modal dalam perubahan pola dan sistem di Polri sepertinya juga hanya tinggal papan nama.  Pola kemitraan (polisi-masyarakat) yang idealnya seperti air mengalir makin lama makin besar/makin kuat karena bersatunya banyak banyak mata air (komponen).

Namun dalam prakteknya, masih seperti bersatunya air dengan minyak. Jika minyak diibaratkan polisi dan air ibarat masyarakat, walau sudah diaduk sedemikan rupa setelah berproses ujung-ujungnya minyak akan naik ke atas permukaan. Lain pemimpin lain pula pola bermitranya, lain tempat bertanya , lain pula jawabnya.  Semua mengesankan FKPM sebagai program nasional Polri tak lebih dari sekedar program sektoral/kedaerahan/kewilayahan saja.

Mungkin berlebihan jika semua persoalan kamtibmas pasti terselesaikan dengan adanya FKPM dan apa yang digariskan dalam dasar operasional FKPM akan mampu mengubah citra polisi di masyarakat dan menaikkan kinerja polisi.

Namun, tentu tak berlebihan bila pola kemitraan polisi-masyarakat perlahan tapi pasti akan membawa angin segar bari citra lembaga kepolisian kedepan.  Dengan tertutupnya setiap celah oknum anggota polsisi dan masyarakat melakukan tindak pidana, menekan biaya intelijen karena dengan sendirinya masyarakat akan memberikan laporan ke meja polisi serta meminimalisasi biaya pengamanan.


Tulisan ini  pernah dimuat di HU Lampung Post Kamis, 19 Februari 2009, Saat itu penulis adalah Anggota FKPM Lampung Barat.

Post a Comment

Previous Post Next Post