“Lebih Baik
Bodoh tapi nurut, daripada pintar tapi tidak nurut”.
Ungkapan ini
pernah suatu ketika terucap dari mulut seorang pejabat di Lampung ini. Sederhana tetapi bermakna, slogan ringan
namun sangat mengesankan, buka saja karena menjauh dari nilai demokratis dan
semangat reformasi tetapi juga kalimat yang implisit mengandung makna
pelembagaan kebodohan dan pelestarian ABS (asal Bapak Senang), disisi lain
betapa kompetensi tak punya arti dan motivasi hanya sebatas menyenangkan hati
pejabat yang bersangkutan.
Ungkapan ini
tentu sungguh disayangkan, bila seorang pemimpin sudah tidak memperhatikan dua
hal ini (kompetensi dan mootivasi).
Mengingat dua hal inilah yang kerap dijadikan dasar/alat oleh pemimpin
dimanapun dalam memimpin bawahannya.
Mengingat staf juga manusia yang mempunyai kemampuan dan kebutuhan untuk
meningkatkan jenjang karirnya.
Kompetensi
tentu tak dapat diartikan hanya sebatas berapa banyak title yang ia sandang,
apalagi kalau title/gelar bidang ilmu yang bersangkutan memang tidak sejalan
dengan bidang tugasyang dikerjakannya, juga tidak dari kedekatan sampai-sampai
ukurannya harus ada hubungan tali
persaudaraan karena dengan demikian diharapkan yang bersangkutan akan mampu
menyerap semua ide dan gagasan sang pejabat.
Tentu bukan pula dari seberapa besar frekwensi bertatap muka lalu
bertegor sapa, bukan dari berapa derajat menundukkan kepala bila berpapasan,
berapa kali kehadiran saat diundang ada hajatan, seberapa sering
menyampaikaninformasi saat diminta maupun tidak diminta, serta kemampuan memberikan
setoran saat pekerjaan/proyek usai.
Tetapi sudah barang tentu bagaimana yang bersangkutan mampu
merencanakan, melaksanakan, dan mengevaluasi hasil kerjanya sesuai dengan
indikator-indikator yang telah di tetapkan.
Motivasi
kerja tentu tak dapat diukur dari tingkat kehadiran semata, berpenampilan rapi
atau mempergunakan baju seragam yang telah di sterika rapi dan licin mengkilat,
bergegas saat di undang rapat, dan bilang siap bila ada pekerjaan mendadak,
tanpa melihat sejauh mana kemauan yang bersangkutan untuk dapat menyelesaikan
persoalan dami persoalan dari pekerjaannya.
Dalam hal ini yang penting tentu dorongan yang bersangkutan untuk selalu
berprestasi dalam pekerjaannya.
Lalu,
mungkinkah berharap kompetensi akan lahir dari hanya mengandalkan arahan dan
bimbingan semata..? Jawabannya tentu
sangat sulit. Mengingat volume dan jenis
pekerjaan yang sangat mustahil bisa di kuasai secara detail dan teknis. Apalagi keterbatasan waktu konsultasi dan
atau koordinasi dengan sang pejabat juga sangat terbatas. Begitu selanjutnya berharap motivasi kan
lahir dari jiwa-jiwa tanpa pengetahuan dan kemampuan?? Ntahlah,, Sebab biasanya
seorang akan termotivasi untuk melakukan pekerjaannya dengan baik bila ada
keseimbangan antara hukuman dan penghargaan atas apa yang telah dilakukan oleh
yang bersangkutan. Pertanyaannya
mungkinkah itu ada bila harus nurut
terus apa kata pimpinannnya.
Setelah
kompetensi dan motivasi pertanyaan selanjutnya adalah bahaya dan bagaimana
pemimpin yang ideal dalam kontek yang sedang kita bicarakan.. Untuk pertanyaan pertama; tentu hanya waktu
dan fakta yang bisa menjawabnya, Bagaimana dan apa yang sedang terjadi dalam
kemimpinan sang pejabat. Sudahkah
kompetensi hadir sebagai sebuah kebutuhan, dan benarkah semua pegawai kini telah
mempunyai motivasi tinggi dalam menyelesaikan setiap tugas dan
tanggungjawabnya?? Terlaksananya program yang telah di gariskan dengan baik dan
terpenuhinya harapan rakyat terutama kaum miskin tentu menjadi kesimpulan dari
semua jawaban di atas.
Sedangkan
untuk pertanyaan kedua; bicara ideal adalah bicara kesempurnaan dan harapan,
bicara kesempurnaan tentu bukan kuasa manusia dan bicara harapan adalah
keselarasan. Sebab adanya keselarasan
antara pejabat dan bawahannya adalah modal dasar dalam mensukseskan
program-program yang telah digariskan.
Untuk itu falsafah batu cincin; Bila batunya (bac; pemimpin) adalah batu
berkelas, maka pengikat/emban/gagang/tangkainya (baca; staf/pembantu) cukup yang
biasa saja. Tetapi sebaliknya bila
batunya tidak berkelas , maka pengikat/emban/gagang/tangkainya harus berkelas
(MAP-GS/BL 2008) seperti patut jadi pertimbangan dan perenungan.
Falsafah
batu cincin mengisyaratkan bahwa harus ada keserasian yang saling melengkapi
dari yang dipimpin dan yang memimpin, dengan
demikian akan terjadi saling melengkapi.
Namun sebelum itu terjadi pemimpin yang bersangkutan harus memberi
tauladan kepada yang dipimpinnya dengan kesadaran kritisdan bukan sekedar
nurut.
Pemimpin
yang memiliki ketauladanan pasti akan mencetak pemimpin baru bukan sekedar
pengikutyang hanya bisa nurut tanpa merasa harus di saingi. Baginya bukan “macho” yang penting (hal-hal yang bersifat
kewenangan, kekuasaan, dan asesoris jabatan yang dipegangnya), melainkan “maestro”
yang paling utama (bisa tidak, ia mengerjakan pekerjaan yang di bebankan pada
dirinya).
“Ada
ungkapanyang menyatakan bahwa apa yang tidak anda hargai, tidak akan dihargai,
bahwa apa yang tidak anda ubah, tidak akan berubah, bahwa apa yang tidak anda
kerjakan, tidak akan dikerjakan. Pertanyaan sesungguhnya bukan soal apa yang
hendak diperbuat, melaikan sekedar kemauan untuk melakukannya”- Alexander M
Sauders Jr.
Pemimpin
yang mampu memberikan tauladan tidak hanya memikirkan keselamatan posisinya
sendiri kini dan akan datang, diatas semua itu ia akan selalu mengembangkantimnya
agar lebih produktif lagi, jika timnya
gagal mencapai target kerja yang telah di sepakati ia tiadak akan
sungkan-sungkan untuk mengundurkan diri dari posisi yang ia duduki dan atau
tidak meminta/mengajukan/mencalonkan diri kembali jika memang ia gagal memimpin
timnya dengan baik. Semoga
Tulisan ini pernah dimuat di HU Bandar Lampung News, No. 306 Thn VI.1-7 Oktober 2009
Post a Comment