Pagi masih muda ketika hati tiba-tiba
bergetar oleh sebuah tanya yang jarang kita izinkan muncul:
“Apakah aku masih punya malu?”
Pertanyaan itu seperti embun yang jatuh
pelan di tepi daun—tak bersuara, tapi mampu membuat seluruh jiwa berhenti
berjalan sejenak. Sebab dunia hari ini terlalu riuh; terlalu banyak orang yang
berani bicara, tetapi tak lagi berani menundukkan kepala. Terlalu banyak yang
ingin dihormati, padahal lupa memperbaiki dirinya sendiri.
Padahal malu itu bukan kutukan.
Ia adalah pagar halus yang melingkari
manusia ketika akal mulai goyah.
Ia rem yang bekerja diam-diam saat
ambisi memanas.
Ia lentera yang menerangi jalan ketika
gelap dianggap lumrah.
Orang yang masih memelihara malu,
berdirinya seperti pohon tua di pinggir kampung—akar yang dalam, batang yang
teduh, dan kesunyian yang mengajarkan hormat tanpa memaksa.
Budaya malu bukan belenggu, melainkan
pakaian yang menjadikan manusia tetap manusia.
Tanpa malu, kita hanya bergerak;
dengan malu, kita berjalan dengan arah.
Dan untuk menegur diri yang sering lupa,
berikut seratus alasan — bukan sebagai angka, tetapi sebagai denyut yang
mengetuk pintu hati satu per satu:
malu menjaga martabat, membuat kita
hati-hati, mencegah menyakiti orang lain, memperhalus budi pekerti, menahan
lisan dari dusta, menjauhkan dari kesombongan, membuat seseorang layak
dipercaya, mengajarkan tanggung jawab, menjaga kehormatan keluarga, menahan
diri dari mengambil hak orang lain, menjauhkan dari tipu daya, menumbuhkan
etika bekerja, membatasi hawa nafsu, mencegah perilaku tak senonoh, memupuk
kerendahan hati, menertibkan hidup, mengingatkan batas moral, menjaga nama
baik, mencegah kesemenaan, membentuk pribadi disegani, melatih kejujuran,
menghindarkan perbuatan merugikan, memperkuat adab, menghalangi pikiran jahat,
menciptakan hubungan sosial sehat, membuat enggan mempermalukan orang lain,
mendorong memperbaiki kesalahan, menumbuhkan empati, memperkuat rasa syukur,
menghindarkan tindakan memalukan, melindungi dari fitnah, membentuk
kebijaksanaan, mengajarkan kesabaran, menghindarkan kegaduhan, menjaga
ketertiban, membuat berpikir panjang, membentuk jiwa lembut, menahan diri dari
pamer, mendekatkan pada kebaikan, menjaga rahmat di hati, menahan lidah dari
mengumbar aib, membuat rendah hati, menjadi pagar saat syahwat bangkit,
menuntun menuju kesopanan, membuat enggan merugikan negara, menjaga amanah,
membentuk integritas, mencegah kebohongan publik, membuat pemimpin bertanggung
jawab, mengajarkan menghargai waktu, menahan diri dari boros, mendorong meminta
maaf, menghindarkan korupsi, mendekatkan kepada Tuhan, melahirkan ketenangan,
menghindarkan penyesalan, membuat tak ambil jalan pintas, menanamkan disiplin,
memperbaiki karakter, mencegah meremehkan orang lain, menyadarkan
ketidaksempurnaan diri, mencegah pertengkaran, menahan diri dari adu mulut,
menjaga kehormatan perempuan, menuntun laki-laki menjaga sikap, mencegah
kekerasan, memupuk kedamaian, mengajarkan persahabatan tulus, mendorong
keadilan, menjauhkan iri dengki, menjernihkan pikiran, menghindarkan sikap sok
jago, mencegah membanggakan dosa, menahan diri dari cibiran, mengatur etika
bermedia sosial, mencegah hoaks, menjaga keharmonisan keluarga, menjauhkan
pergaulan buruk, memelihara kepekaan hati, mengajak introspeksi, menumbuhkan
hormat pada yang tua, menuntun kasih pada yang muda, menghindarkan pamer
kesulitan, menahan diri dari pamer kekayaan, menjaga kesucian ibadah,
menghalangi eksploitasi orang lain, mengikis egoisme, mendorong keadaban
publik, mencegah menjadi beban orang lain, menghargai privasi, menahan diri
dari berbuat buruk meski tak ada yang melihat, menahan diri dari kebodohan,
menjaga kebersihan hati, mempertajam akal sehat, menghindarkan perusakan
lingkungan, menjaga aturan, menghindarkan sikap tak tahu diri, menghidupkan
budi pekerti bangsa, membuat kehadiran seseorang dirindukan—dan pada akhirnya:
malu adalah pintu pertama menuju akhlak yang diterangi cahaya.
Dan setelah semua itu, kita tetap harus
jujur:
bahwa orang yang hidup tanpa malu ibarat
rumah tanpa pintu.
Apa saja bisa masuk, apa saja bisa
merusak.
Angin buruk keluar masuk sesukanya,
meninggalkan retakan demi retakan sampai tidak ada lagi yang patut
dipertahankan.
Orang yang kehilangan malu akan
kehilangan martabat;
yang kehilangan martabat akan kehilangan
arah;
dan yang kehilangan arah, lambat laun
akan menjadi tontonan bagi dunia.
Dan ketika ia hendak kembali, dunia
sudah lebih dulu menguburnya dengan ejekan.
Sungguh… tidak ada makhluk yang lebih
mudah dipermalukan
selain orang yang tidak lagi tahu apa
itu malu..
.jpg)
Post a Comment